ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Minggu, 15 November 2015

Blazing Star [Chapter 8] - It Was An Absurd Night





Blazing Star [Chapter 8]

by  Stephcecil
Cast : Kim Myungsoo, Son Naeun, Noh Yiyoung, Kim Taehyung / V, Lee Byunghun / L.Joe
Lenght : Chaptered || Genre : School Life, Music, Romantic, Friendship || Rating : Teen
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : "Ia tidak menoleh ke belakang, sama sekali. "
Previous Part  : 1 || 2 || 3 || 4 || 5 || 6 ||7




 ***




Yiyoung tersedak americano yang baru setengah jalan menelusuri kerongkongannya, begitu melihat Taehyung berjalan mendekati meja mereka. Namun, bukan sosok sang gitaris yang memancing keterkejutannya, melainkan dua visual yang mengekori pemuda itu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Naeun –yang dengan sigap menepuk-nepuk punggung Yiyoung- benaknya disibukkan oleh berbagai spekulasi.

“Eh, itu Tae. Akhirnya dia kembali juga-“ Myungsoo, sebagai orang kedua yang menyadari kehadiran Taehyung segera mendeteksi dua sosok lain, dan otomatis bertanya dengan raut bingung, “Itu Minhyun kan?” Ia menyikut pelan Yiyoung, “-tapi siapa yang seorang lagi? Aku pernah melihatnya…tapi entah dimana.”

Naeun menyahut, “Itu Henry Lau, sunbae kita. Dia violinist band resmi sekolah kita.”

Mendengar jawaban sang keyboardist, Myungsoo pun mengangguk paham. Pandangannya lekat, memonitor gerak-gerik ketiga manusia yang tengah berjalan menuju meja mereka. Hanya dibutuhkan hitungan detik hingga Taehyung berhenti berjalan dan berdiri di samping kursi Myungsoo, berkata, “Henry hyung adalah pemilik restoran ini. Aku meminta ijin tampil padanya, karena si manajer sedang absen.”

Myungsoo mengangguk, separuh bergumam, “Ah, jadi begitu.”

Sang leader bangkit berdiri –diikuti rekan bandnya- kemudian mengalihkan perhatian pada pemuda berpipi tembam yang berdiri di sebelah kanan Taehyung, Henry Lau. Dia tampak terlalu muda untuk memiliki sebuah restoran secara mandiri, ditambah dengan statusnya yang hanya seorang pelajar. Well, menilik jas armani dan jam tangan swiss army yang dikenakannya, Myungsoo berasumsi jika D’pasto bukanlah murni hasil keringat Henry.

Kim Myungsoo melempar senyum lebar, menduplikat senyum khas businessman ayahnya, “Aku tidak tahu kalau sunbae pemilik restoran ini.”

Henry tergelak, mata sipitnya membentuk garis lurus, “Tempat ini milik ayahku,” lalu menepuk pelan pundak Myungsoo, “Santai saja, kalian bisa tampil sekarang. “

Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi dengan Henry Lau, Kim Myungsoo segera berjalan ke samping panggung mini –seperti ada base disana, dimana beberapa instrumen dan sound system terletak- untuk mempersiapkan gitar dan berbicara dengan staf yang mengurusi sound system kafe. Tindakan Myungsoo diikuti oleh ketiga rekan yang lain. Yiyoung pun hendak menyetel bassnya saat Minhyun datang menghampiri.

“Young-ah, aku ingin bicara padamu setelah ini.”

“Tapi aku-“

“Kumohon, ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”

Selama ia mengenal sosok Hwang Minhyun, hanya ada dua peristiwa dimana ia pernah berbicara menggunakan nada memelas nan memaksa seperti yang digunakannya kini. Yakni, saat Minhyun marah karena Yiyoung pergi ke klub malam dan saat Minhyun pamit pergi untuk program pertukaran pelajar.

Tetapi, ada yang berbeda kali ini. Sepasang insan muda itu tahu jika ada yang berbeda. Dulu, hanya kekhawatiran yang mendalangi pertikaian mereka. Tetapi, realita yang terpampang di hadapan sepasang insan itu sekarang jauh lebih berbobot.

Karena sebesar apapun keteledoran yang dilakukan seorang Noh Yiyoung, tidak pernah sekalipun Minhyun memberinya tatapan kecewa.

“Okay then, I will see you later.”

Yiyoung melihat bibir Minhyun terbuka –seperti ingin berkata sesuatu- namun diurungkannya ketika suara Myungsoo terdengar dari kejauhan, menyuruh sang bassis mempersiapkan diri. Sedikit enggan, Yiyoung memutar tubuh dan berjalan meninggalkan Minhyun.


***



Ini bukan pertama kalinya Noh Yiyoung menginjakkan kaki di atas panggung. Namun, ini adalah kali pertama ia berdiri di sana sebagai bagian dari suatu band, tepatnya sebagai bassis dan sub-vokalis. Jika ia tampil sebagai solois, ia tidak akan begitu khawatir membuat kesalahan, karena toh segalanya ia tanggung sendiri. Tetapi, situasi di bawah hidungnya kini mengharuskan ia lebih berhati-hati. Ia paham bagaimana satu nada sumbang mampu mengancurkan sebuah harmoni yang seharusnya sempurna. Ibarat satu noda hitam di atas kaus putih. Sungguh menonjol, bukan?

Yang ada di hadapannya bukanlah notasi biola, tapi standing microphone.

Seolah tekanan yang dilimpahkan di atas pundaknya belum cukup, keberadaan sepasang manik yang mengintai gerak-gerik sang vokalis menambah kadar gugupnya. Bahkan, suaranya terdengar aneh di telinganya sendiri ketika ia melakukan tes mic sembari berjuang menghiraukan tatapan intens Hwang Minhyun yang menempati meja terdekat dari panggung.

“Kau tidak apa-apa?”

Yiyoung terperanjat mendengar suara baritone tersebut. Sontak, ia menoleh dan mendapati Myungsoo yang berdiri tepat di sampingnya sebagai vokalis pertama. Menilik wajah pucat dan vibrasi dalam suaranya, Yiyoung menebak jika keadaan Myungsoo pastilah tak jauh berbeda darinya. Maka dari itu, demi menenangkan sang leader dan ia sendiri, Yiyoung melempar senyum tipis, “Tentu saja aku tidak apa-apa. Ini hanya latihan, kan?”

Myungsoo balas tersenyum. Entah bagaimana caranya, namun sikap positif Yiyoung berhasil tersalurkan dan melenyapkan rasa gugupnya. “Benar, ini hanya latihan. Lebih baik kita nikmati saja dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Yiyoung mengangguk. Kemudian, saat ia menoleh –ke belakang dan samping kiri- untuk mengecek kesiapan rekan grupnya, ia menyadari keseragaman ekspresi mereka, yang sama-sama menggambarkan ketegangan, baik L.Joe yang tengah memutar-mutar stik drumnya atau Naeun yang membolak-balik partitur musik. Melihat itu, Yiyoung menyadari bahwa Ia sungguh tidak sendirian, bahwa ia adalah anggota dari blazing star. Dan mereka akan melakukan ini bersama-sama sebagai sebuah grup.

Yiyoung mengalihkan pandangan ke depan, ke arah para pengunjung kafe yang tampak asing, kecuali beberapa orang tentunya –Minhyun dan Henry sunbae- yang sempat menjadi sumber kegugupan sang gadis pirang. Dipejamkannya kelopak mata sejenak, dan saat ia membukanya, ketukan intro drum tertangkap oleh indra pendengaran Yiyoung, menandakan awal penampilan mereka.

Kau tahu? Aku hanya ingin bersenang-senang malam ini. Hanya ditemani oleh musik dan Blazing Star.

One, two, three, four. 




***





Flashback, D-2 Practice Performance.
10.25 PM KST, Taehyung’s house. 

Noh Yiyoung menghela napas dalam. Tidak banyak waktu tersisa sebelum penampilan perdana mereka esok lusa. Memang, Yiyoung harus mengakui bahwa kecerdasan musikal Blazing Star jauh di atas rata-rata. Tetapi, menggubah sebuah lagu dalam satu malam tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan kini, mereka masih berkumpul di basement rumah Taehyung demi mendiskusikan lagu potensial. Sementara mentari telah lama tergantikan oleh bulan, kata mufakat belum tergapai.

“Bagaimana kalau kita menggubah lagu barat saja? Seperti lagu Michael Jackson, mungkin?” merupakan usul –kira-kira- kesepuluh Myungsoo malam itu.
Well, Yiyoung dapat memaklumi latar belakang Myungsoo yang menghabiskan separuh hidupnya di negeri Paman Sam. Tetapi, bahkan para pelaku industri non-musikal pun tahu betapa tipis kemungkinan menggubah karya yang dibawakan sang musisi legendaris dalam waktu singkat.

Sahutan Taehyung mewakili analisis Yiyoung, “
Are you kidding me, bro? Kau kira Michael Jackson itu siapa?” diberinya penekanan pada bagian akhir.

Menit-menit berikutnya pun dihabiskan dalam siklus serupa. Satu ide yang dilemparkan langsung dibantai penolakan dan alasan-alasan seperti: “
Yah, aku tidak peduli kalau kau memiliki impian menjadi seorang rocker, tapi aku tidak sudi memainkan apapun yang berhubungan dengan aliran musik itu” dari Naeun, atau “Menggubah musik klasik? Maaf, tapi aku tidak pernah dan tidak berencana tertidur saat memainkan drum.” Dari L.Joe yang disambut gerutuan Naeun.

Myungsoo hampir menyerah dan menutup pertemuan mereka. Lagipula, apa gunanya melanjutkan diskusi tak berujung di saat mereka semua sudah lelah dan hanya tersisa 30 menit sebelum pergantian hari? Tetapi, segala perhatian langsung terarah pada Yiyoung –yang cenderung diam sepanjang malam- saat ia berkata, dengan tangan terlipat di depan dada dan sebelah alis yang tertarik ke atas, “
Yah, daripada menggunakan ide-ide rumit dan sulit seperti lagu-lagu Michael Jackson, instrument ciptaan Beethoven, atau genre-genre asing, bagaimana kalau kita gunakan sesuatu yang sederhana saja?”

Alis Taehyung mengerut, kepalanya ditelengkan ke samping, “Maksudmu?"

Yiyoung memutar bola mata. Seharian beraktivitas di sekolah cukup memancing lelah dan kantuk yang kini bersemayam dalam tubuh. Sifatnya jelas tidak memenuhi kriteria seorang penyabar dan ia yakin jika mengutarakan maksud kalimat barusan dalam sebuah penjelasan panjang hanya akan memancing emosinya. Maka dari itu, ia memilih untuk berkata, “Jadi, bagaimana kalau kita gunakan lagu
Soyu ft Junggigo-Some? Lagu itu populer, mudah diaransemen, genrenya pop dan aku yakin kalau kita semua pecinta pop,“ ia memberi jeda, melirik Naeun-L.Joe penuh arti, “Lagipula, Some adalah lagu duet yang dinyanyikan pria dan wanita, itu akan memudahkanku dan Myungsoo dalam membagi bagian.” Well, Naeun harus mengakui –lagi-lagi- kalau sahabatnya itu memang cerdas, natural. 



***




One, two, three, four.

Sebelum jemarinya menari di atas senar dan memainkan nada pertama dalam birama, Yiyoung sempat mendengar Myungsoo berkata –dengan kepala yang dicondongkan ke arah Yiyoung dan bibir bawah yang digigit karena tegang-, “Anggap saja ini latihan. Fighting!

Yiyoung tak sempat memberi respon. Sebab detik berikutnya, ia telah tenggelam dalam musik. Setiap nada yang dihasilkan dari masing-masing instrument saling melengkapi dan membentuk harmoni, memicu adrenalinnya. Ketika bagian intro selesai–mereka menggubah lagu Some jadi versi band-, tiba saatnya ia dan Myungsoo unjuk diri sebagai vokalis.

Yiyoung benci mengakui, namun rupanya ia harus berterimakasih pada Eomma-Appa atas kursus vokal yang bersikeras mereka berikan, dan bimbingan Sunggyu saenim tentunya. Jika saja ia tidak melatih vokalnya, pasti saat ini ia tidak akan memiliki kepercayaan diri untuk berduet dengan Myungsoo. Teknik vokal pemuda itu nyaris sempurna, belum lagi warna suara Myungsoo yang teramat cocok dengan lagu-lagu bergenre pop.

Yiyoung seakan mengalami déjà vu. Suara dan penampilan Myungsoo lagi-lagi membawanya ke dunia lain, persis seperti ketika pemuda itu bernyanyi di tempat karaoke. Keberadaan Myungsoo di sampingnya bagaikan lubang hitam yang menyedot perhatian Yiyoung.

Bibir tipis nan kissable, kulit semulus porselen dan sepucat salju, serta fitur wajah nyaris sempurna yang selalu –diam-diam- dikagumi oleh Yiyoung semenjak pertama kali Ia melihat sang pemuda di parkiran sekolah membuat darahnya berdesir. Meski adrenalinnya terpacu oleh musik, namun kehadiran Myungsoo dalam radius dekat turut mengambil andil.

Intinya, tatapan Noh Yiyoung tak mampu dialihkannya dari Myungsoo sepanjang 5 menit penampilan Blazing Star. Ditambah lagi, lirik lagu Some yang dinyanyikan sungguh mewakili situasi mereka.

Myungsoo   : Sometimes, I get annoyed without even knowing
                       But my feelings for you haven’t changed
                       Maybe I’m the weird one, I thought
                       As I struggled by myself

Yiyoung       : While tossing and turning alone in an empty room
                       The TV plays reruns of yesterday’s drama
                       As I hold my phone that doesn’t ring until I sleep

Yiyoung      : These days, it feels like you’re mine, it seems like you’re mine but not

Myungsoo   : It feels like I’m yours, it seems like I’m yours but not

Yiyoung      : What are we? I’m confused, don’t be aloof

Myungsoo   : It feels like we’re lovers, it seems like we’re lovers but not

Yiyoung      : Whenever you see me, you act so vague to me

Myungsoo   : These days, I hate hearing that I’m just like a friend



Pada bagian penutup, mereka menyanyikan bait terakhir bersama-sama –Yiyoung satu oktaf di atas Myungsoo. Posisi tubuh mereka saling berhadapan dengan pandangan yang menembus manik satu sama lain, seakan berusaha menggali kejujuran disana.

Yiyoung & Myungsoo : Don’t put me in your heart and look elsewhere
Why don’t you stop acting like you don’t know when you do know?
Don’t give excuses that you’re tired but hurry and tell me, I love you


*P.S : I do not own the lyric nor song, all credit to Soyu&Junggigo*








***







Jika seseorang bertanya kapankah ia mengalami momen terbaik dalam hidupnya, tanpa ragu Yiyoung akan menjawab bahwa momen tersebut baru saja berlalu, tepatnya 37 menit yang lalu. Memang, terdapat kemungkinan jika kegembiraan dan kepuasan yang mendominasi perasaannya kini hanyalah bagian dari euforia temporer, dari sorakan riuh dan tepuk tangan penonton. Tetapi, untuk saat ini, Yiyoung dapat menjamin keakuratan jawabannya.

Setelah mengemas penampilan dan instrumen masing-masing, Myungsoo mengajak member Blazing Star merayakan kesuksesan penampilan perdana mereka dengan makan besar. Tentu saja, ajakan sang leader disetujui oleh mereka, terutama karena Myungsoo bersedia menguras isi dompetnya malam itu. Meskipun seluruh murid Jung Sang High School berasal dari kalangan atas –tak terkecuali mereka- tidaklah etis menolak makanan gratis, kan?

Wah, aku tidak percaya kalau aku tidak membuat kesalahan sama sekali tadi.” Taehyung berkomentar, lalu menyeruput wine putihnya dengan tampang puas.

“Aku juga,” Naeun menyahut dari balik cangkir tinggi cappuccinonya, “Tadi aku sempat melupakan kunci nadanya, untuk langsung ingat.”

Yiyoung tertawa, menyikut pelan Naeun yang duduk di samping kanannya, “Yah, apa benar kau Son Naeun? Bukannya ini terlalu mudah bagimu?” alisnya dinaikturunkan, sengaja meledek.

Naeun meringis mendengar penuturan sahabatnya. Ia tidak bermaksud berlagak sombong, tetapi apa yang dikatakan Yiyoung mencerminkan realita. Ia adalah Son Naeun, oknum penyambar piala bergilir kontes keyboardist dan aransemen lagu se-regional. Terhitung puluhan kali sudah ia naik turun panggung untuk berkompetisi. Bagi seorang keyboardist handal, seharusnya penampilan seperti tadi tak ubahnya menjentikkan jari. Terlalu mudah.

Naeun mendengus, mengedikkan bahunya, “Tidak tahu. Aku juga merasa aneh tadi. Berbeda sekali rasanya tampil di band dan bermain solo.”

Yiyoung tersenyum, menyetujui pernyataan Naeun.

Kelima remaja berdarah panas tersebut melewati waktu dengan menyantap hidangan Italia andalan D’pasto, yakni 3 loyang pizza berukuran jumbo dan spaghetti bolognaise. Walaupun tubuh Yiyoung cenderung mungil, namun nafsu makan gadis pirang itu tak boleh dipandang sebelah mata. Bahkan, Myungsoo -yang melihat Yiyoung mengunyah potongan pizza kelimanya- menjatuhkan komentar, “Kau ini manusia atau babi?” yang direspon Yiyoung dengan juluran lidah tanda tak peduli, bertolak belakang dengan jantungnya yang nyaris pensiun menanggapi perhatian Myungsoo. Dia memperhatikanku, batinnya.

Yiyoung hendak menyambar potongan pizza keenam saat ponselnya berdering nyaring, membuat ia terpaksa menunda acara makannya demi mengecek notifikasi ponsel.

From: Hyunnie <3

Aku menunggumu di depan restoran. Kalau kau sudah selesai, segera temui aku.

Yiyoung menghela napas panjang. Ia segera menyambar tas pradanya dan berpamitan pada teman-temannya. Mengabaikan pertanyaan penasaran mereka –anggota BZ-, Yiyoung membalikkan tubuh lalu melangkah menuju pintu keluar, bersiap menghadapi siapa dan apa yang sudah menanti di luar sana.




***





Yiyoung selalu berpikir jika visual Minhyun patut diacungi jempol, terutama jika dia sedang bermain biola atau berkonsentrasi pada sesuatu. Visual itu pulalah yang membuat dia 'jatuh hati' pada teman masa kecilnya dan menerima pernyataan cinta Minhyun dulu.

Ia tahu tindakannya tidak dapat dibenarkan, ia tahu seharusnya ia tidak terlena dengan sikap protektif, perhatian berlebih, senyuman, serta kedekatan mereka. Ia tahu seharusnya ia mengabaikan tatapan memabukkan Minhyun saat pemuda itu berkata, “Aku menyukaimu, Noh Yiyoung. Bukan sebagai sahabat, tapi aku benar-benar menyukaimu. Maukah kau menjadi kekasihku?”

Ia merasa bersalah. Seharunya ia tidak mengatakan, “Aku juga menyukaimu.”

Dengan perasaan bersalah yang mendominasi, Yiyoung memberanikan diri mendekati Minhyun. Pemuda itu tengah berdiri dengan punggung yang disandarkan pada tembok samping D’pasto. Mantel biru tua dan jeans bermerek membalut tubuh proporsionalnya, sementara earphone hitam menyumbat indra pendengaran. Kelopak matanya terpejam, tampak larut dalam musik. Tanpa menebak pun, Yiyoung tahu bahwa Minhyun mendengarkan musik klasik. Dia selalu mendengarkan musik klasik.

Ketika jarak di antara mereka kurang dari satu meter, Yiyoung berhenti berjalan dan meniru posisi kekasihnya –bersandar pada tembok-, “Hey,” Sapanya sembari menepuk pundak kiri Minhyun. Suaranya terdengar lirih, seolah tenggelam dalam kepekatan malam.

Minhyun terperanjat. Ia segera melepas headsetnya lalu menoleh, mendapati Yiyoung yang memandangnya dengan senyum tipis. Ia pun balas tersenyum –kentara dipaksakan- dan membalas sapaan sang gadis pirang, “Hey juga. Kapan kau tiba? Aku tidak sadar.”

Yiyoung memutar bola mata, “Aku baru datang, kok. Tentu kau tidak sadar, kau terlalu sibuk mendengarkan musik.”

Minhyun tertawa kecil, “Kau benar.”

Detik-detik berikutnya dibantai dalam keheningan. Derum kendaraan beroda dari jalan utama Seoul –letak D’pasto agak terpencil- terdengar jelas. Kedua bibir saling terkunci dengan kepala yang menengadah, menghadap langit kelam yang bersih dari bintang. Sepasang insan sibuk berdebat dalam hati, menjadi juri perseteruan antara akal sehat dan hati nurani.

Jauh di dalam sana, keduanya tahu bahwa hubungan mereka telah berakhir. Momen dimana takdir mempertemukan Yiyoung dengan Myungsoo adalah momen dimana Yiyoung belajar membedakan ‘suka’ dan ‘cinta’.

Yiyoung menyukai keberadaan Minhyun di sisinya, tapi hanya sebatas itu. Jantungnya memang berdebar untuk Minhyun, tapi tidak dalam cara yang sama ketika ia berada di dekat Myungsoo. Entahlah, susah untuk mendeskripsikannya (Author curhat). Well, cinta memang rumit, bukan?

Keheningan yang menebal seolah mencekik Yiyoung. Merasa tidak tahan lagi, ia memutuskan untuk memecahnya, “Jadi, apa yang ingin kau katakan?”

Pertanyaan retorik.

Helaan napas Minhyun terdengar berat. Kepalanya ditundukkan demi menghindari tatapan kekasihnya. Ia telah mempersiapkan diri –bahkan berlatih di depan cermin- untuk menyampaikan keputusannya. Tetapi, ketika ia benar-benar berhadapan dengan Yiyoung, segala monolog yang ia persiapkan menguap dari kepala. Lidahnya kelu saat berkata, tersendat, “Jadi,” lagi-lagi helaan napas, “Jadi, setelah berpikir dan berpikir. Setelah mempertimbangkan segala hal yang terjadi di antara kita,” dia memberi jeda, memberanikan diri untuk menoleh dan menatap manik kecoklatan Noh Yiyoung.

Sebab setelah ini, mungkin ia tidak lagi memiliki hak.

Suara Minhyun bergetar, namun penuh dengan finalitas, “Asal kau tahu, aku masih menyukaimu, Young-ah. Tapi aku tahu kalau kau tidak merasakan hal yang sama. Aku masih menyukaimu. Tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu.”

Perasaan bersalah Yiyoung semakin memuncak, matanya memanas. Ia hendak menyela Minhyun, mengatakan apapun yang dapat meringankan rasa bersalahnya. Tetapi, ia tidak bisa. Ia tahu bahwa ia harus merelakan Minhyun.

Untuk itulah, sekarang ia harus bertahan.

Meskipun hatinya berubah menjadi kepingan saat kalimat “Mari kita akhiri semuanya sampai disini” meluncur mulus dari bibir Minhyun, meskipun benteng pertahanannya runtuh saat ia melihat punggung Minhyun yang berangsur menjauh, meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi setelah ini. Ia masih, harus, dan akan bertahan.

Ia berpikir -sembari menyeka air matanya- bahwa pelangi akan menyambutnya setelah badai berlalu.

Ia benci menelan ludahnya sendiri, namun ia harus mengklarifikasi bahwa malam ini bukan lagi malam terindah dalam hidup seorang Noh Yiyoung. Mengabaikan kehampaan hati dan rantai imajiner yang mengikat kakinya, Yiyoung membalikkan tubuh.

Ia tidak menoleh ke belakang, sama sekali.




.
.
.
TBC
=====================================================================
A/N: So, so, setelah 4 bulan (?) tanpa update, saya kembali dengan chapter ke-delapan! hehehe ._.v maaf sudah ngilang, maklum lagi hiatus (tapi masih rajin nonton K-drama sama baca FF, maapin). Yah, gimana ya (?) kalo gak lagi mood masa bisa nulis. huehehehe #ditabok. Btw, author udah buat akun di asianfanfic.net dan mulai nulis fanfic disana (tapi baru nge-post satu sih). Barangkali kalau reader kepo, bisa baca-baca ff author yang disana *modus banget*. So, seperti biasa, setelah baca, tolong jangan lupa rate dan commentnya ya ^^ kalau mau cuap-cuap sama saya silahkan ke twitter @jsc_1004 atau mau request FF juga bisa. Soalnya saya jarang menginjakkan jari/? di sini.

A/N*2 (jangan baca, gak penting -_-): Jadi, sembari ngerjain FF ini, ada banyak yang saya pikirin. Sebenernya kenapa saya nulis FF? dulu, saya cuman tertarik sama FF komedi gaje yang bertebaran di dunia maya, so, saya jadi pengen buat. Lalu, lama kelamaan saya makin kepo sama dunia per FF-an dan coba" nulis FF romance dll. Tapi sekarang, saya udah gak kepo lagi. Lalu, kenapa saya tetep nulis? KENAPAAA?! *banting laptop*. Setelah semedi di gunung 7 hari 7 malem dan mandi kembang 7 rupa, saya sadar kalo ini adalah dunia saya. Karena this is a part of my life, where i have full control of it. Karena hidup itu gak adil, kadang kita gak punya kontrol terhadap apapun yang terjadi di kehidupan kita. Dan tempat di mana saya punya full control adalah cerita" saya sendiri, iya kan?. I want to protect this part of my life, because no matter what, this is a part where i can always run to when i feel tired or feel that life is full of shits. So, jangan percaya kalau saya bilang bakal long hiatus atau gak pernah balik. Kar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar